Senin, 18 Oktober 2010

Pertanyaan seputar masalah haji

Masalah-masalah yang Sering Ditanyakan Seputar Haji
﴿ مسائل يكثر عنها السؤال في الحج ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي


Abdullah bin Shalih Al-Fauzan



Terjemah: Muhammad Khoirudin
Editor : Tim Islamhouse.com




2009 - 1430





﴿ مسائل يكثر عنها السؤال في الحج ﴾
« باللغة الإندونيسية »



تأليف : عبد الله بن صالح الفوزان


ترجمة : محمد خير الدين
مراجعة: الفريق الإندونيسي




2009 - 1430







MASALAH-MASALAH
YANG SERING DITANYAKAN
SEPUTAR HAJI

Penulis : Abdullah bin Shalih al-Fauzan

Resonansi :
Berkata pengarang –semoga Allah menjaganya- :
Maka pada setiap tahun di musim haji, orang-orang melontarkan banyak pertanyaan mengenai hukum-hukum haji dan manasiknya, baik yang disampaikan sebelum musim haji, ataupun pada hari-hari pelaksanaannya. Telah menjadi jelas bagiku dari pengalaman-pengalaman yang telah berjalan, bahwa terdapat masalah-masalah yang seringkali dipertanyakan, seperti dalam hukum-hukum umrah. Hal ini menjadi indikasi kuat akan bobot kebutuhan mengenai persoalan tersebut. Kebimbangan sempat menginggapi pikiranku, antara saat ini atau di lain waktu, untuk aku himpun masalah-masalah ini, dan aku jelaskan hukum-hukumnya. Sebagian ikhwah –semoga Allah mengaruniakan mereka pahala- mendorongku untuk mengerjakannya, maka aku bertekad –dengan bertawakkal kepada Allah Ta’ala- untuk mengimpun masalah-masalah ini setelah musim haji tahun 1422 H. Lalu di dalamnya aku tambahkan materi-materi yang menurutku –sesuai ijtihadku- mendesak untuk disampaikan. Kesemuanya disampaikan dengan bahasa yang jelas dan disertai argumentasi yang berdasarkan pendapat-pendapat yang paling mengemuka, di dalam persoalan-persoalan yang mengandung perselisihan.


MASALAH-MASALAH
YANG SERING DIPERTANYAKAN
SEPUTAR HAJI

Ditulis oleh :
Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas penutup para nabi dan rasul, nabi kita Muhammad bin Abdillah, beserta para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj beliau dan mengikuti jejaknya hingga hari pembalasan .....
Amma ba’du :
Maka pada setiap tahun di musim haji, orang-orang melontarkan banyak pertanyaan mengenai hukum-hukum haji dan manasiknya, baik yang disampaikan sebelum musim haji, ataupun pada hari-hari pelaksanaannya. Telah menjadi jelas bagiku dari pengalaman-pengalaman yang telah berjalan, bahwa terdapat masalah-masalah yang seringkali dipertanyakan, seperti dalam hukum-hukum umrah. Hal ini menjadi indikasi kuat akan bobot kebutuhan mengenai persoalan tersebut. Kebimbangan sempat menginggapi pikiranku, antara saat ini atau di lain waktu, untuk aku himpun masalah-masalah ini, dan aku jelaskan hukum-hukumnya. Sebagian ikhwah –semoga Allah mengaruniakan mereka pahala- mendorongku untuk mengerjakannya, maka aku bertekad –dengan bertawakkal kepada Allah Ta’ala- untuk mengimpun masalah-masalah ini setelah musim haji tahun 1422 H. Lalu di dalamnya aku tambahkan materi-materi yang menurutku –sesuai ijtihadku- mendesak untuk disampaikan. Kesemuanya disampaikan dengan bahasa yang jelas dan disertai argumentasi yang berdasarkan pendapat-pendapat yang paling mengemuka, di dalam persoalan-persoalan yang mengandung perselisihan.
Masalah-masalah ini masih sangat relevan untuk ditambahkan dan dilengkapi, terkadang pula terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan kriteria materi yang dibutuhkan kebanyakan orang. Aku sendiri tidak menyatakan telah mencukupi di dalamnya segala hal yang dibutuhkan oleh pelaksana ibadah umrah dan haji, namun inilah yang sekarang sanggup aku suguhkan. Dan manasik haji seperti juga hukum-hukum syariat lainnya, dibangun atas prinsip kesanggupan dan kemudahan. Bahkan yang demikian itu merupakan kriteria yang menonjol di dalamnya, namun bukan berarti bahwa seorang muslim boleh memudah-mudahkan urusan pelaksanaan manasik haji, sampai terjadi pelanggaran atau keteledoran. Sehingga hal inilah yang menjadikan sebagian orang mempercayakan kepada ahli fatwa (ulama) mengenai apa yang diperbuatnya.

DELAPAN WASIAT
Sebelum aku memulai mengulas masalah-masalah fikih, aku berkeinginan untuk menyampaikan wasiat-wasiat ini, semoga Allah Ta’ala menjadikannya bermanfaat.

WASIAT PERTAMA : Ikhlas Beribadah untuk Allah Semata
Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah semata, sebagai persyaratan diterimanya suatu ibadah. Hal itu menjadikan seluruh perbuatan ibadah yang dilakukan hambanya hanya untuk Allah Ta’ala. Termasuk shalat, doa, tawaf, sa’i, dan ibadahnya yang lain, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan dan harta yang dibelanjakannya. Jauh dari riya` (pamer diri) dan sum’ah (siar diri), karena Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali yang ikhlash karena Allah semata. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
 فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً  [الكهف/110]
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya.” (QS.18:110).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
 وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّين  [البينة/5]
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS.98:05).
Jika seorang hamba telah berniat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dalam seluruh keadaannya, niscaya hal itu menjadi penyebab bertambahnya kebaikan-kebaikannya, dan menggugurkan dosa-dosanya, sebagaimana yang disinyalir oleh hadits Nabi mengenai hal tersebut.

WASIAT KEDUA : Mengenal Sifat Haji.
Wajib atas setiap orang yang bertekad melaksanakan ibadah haji untuk mengetahui hukum dan sifat pelaksanaannya. Mengetahui cara berihram, kaifiat tawaf, tehnis bersa’i, dan demikian pula dengan untuk amalan manasik yang lainnya. Karena syarat lain penyebab diterimanya amal adalah –setelah niat ikhlash karena Allah Ta’ala semata sebagaimana yang telah dikemukakan- bersesuaian dengan apa yang telah disyariatkan dalam al-Qur`an atau sesuai atas tuntunan nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka pengetahuan tentang hukum-hukum haji bagi orang yang hendak berhaji merupakan hal yang penting dimana ia berada, agar seorang mukmin dapat beribadah kepada Rabbnya berdasarkan hujjah yang nyata, merealisasikan napak tilas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ » أخرجه مسلم (1297)
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).” HR. Muslim (1297).
Sarana untuk itu, ia bertanya kepada ulama tentang kaifiat melaksanakan manasik haji, atau membaca buku-buku manasik –seandainya ia dapat membaca dan dapat memahaminya-, atau mencari teman yang termasuk kelompok penuntut ilmu untuk mandapatkan manfaat darinya.
Diantara pelaksana haji ada yang terperosok ke dalam kesalahan dalam menjalani manasik yang pokok, seperti pada sifat ihramnya, atau tawaf, atas sa’i, atau yang selainnya dikarenakan beberapa sebab :
1. Kebodohan dan tidak mempelajari hukum-hukum manasik.
2. Tidak bertanya kepada orang yang berilmu yang terpercaya keilmuan dan kewaraannya.
3. Bertanya kepada orang yang bukan termasuk orang berilmu (ulama).
4. Sikap membeo (taqlid) sebagian dengan sebagian yang lainnya.
Wajib bagi seorang muslim, untuk memperhatikan hal yang dapat membebaskannya dari tanggungjawabnya dalam menjalankan kewajiban agama, dan mempelajari bagaimana seharusnya cara menyembah Allah dan bagaimana seharusnya ia berinteraksi dengan para hamba-hamba-Nya? Maka sesungguhnya ilmu ini hukumnya fardhu ain atas setiap pribadi muslim dan muslmah, agar beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berdasarkan ilmu dan hujjah yang nyata.

WASIAT KETIGA : Mengikuti Nabi dalam Melaksanakan Manasik
Wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti Nabi dalam melaksanakan manasik, berbuat sebagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuat, karena beliau bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ ، فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلِّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ » رواه مسلم
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku), maka sesungguhnya aku tidak tahu sekiranya aku tidak berhaji lagi setelah hajiku ini.” HR. Muslim.
Dan dalam riwayat an-Nasa`i (V/270) dengan redaksi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلِّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِي هَذَا
“Wahai manusia sekalian, ambillah manasik haji kalian (dariku), maka sesungguhnya aku tidak tahu sekiranya aku tidak berhaji lagi setelah tahun hajiku ini.”
Dan berhati-hati dengan perkara-perkara bid’ah yang diinfiltrasikan oleh sebagian orang ke dalam rangkaian manasik yang tidak memiliki dasar argumentasi dalam agama Allah Ta’ala.

WASIAT KEEMPAT : Mengagungkan Syi’ar-Syiar Allah Ta’ala
Memastikan kesungguhan pelaksana haji untuk mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Ta’ala, dan merasakan keutamaan al-masya’ir (tempat-tempat penting dalam ibadah haji, pent.) dan merenungkan nilai urgensinya. Lalu melaksanakan manasiknya dalam rangka pengagungan, penghormatan, kecintaan serta ketundukan kepada Allah Rabb sekalian alam. Dan tanda-tanda itu tercermin dengan melaksanakan syiar-syiar haji dengan penuh ketenangan dan kenyamanan, serta memenuhi segala pengucapan dan perbuatannya. Dan menghindari ketergesa-gesahan yang sering dialami oleh kebanyakan orang di zaman ini. Melatih dirinya untuk bersabar dalam mena’ati Allah Ta’ala, maka sesungguhnya sikap ibadah yang semacam ini lebih berpeluang untuk diterima dan mendapatkan ganjaran yang lebih besar.

WASIAT KELIMA : Mengenai Haji Mabrur
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ » أخرجه البخاري (1683) ومسلم (1349)
“Umrah ke umrah (berikutnya) sebagai pelebur (dosa) yang terjadi di antara keduanya, dan bagi haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.” Diriwayatkan oleh Bukhari (1683) dan Muslim (1349).
Sedang haji mabrur terhimpun 4 (empat) sifat di dalamnya :
Pertama, biaya hajinya berasal dari harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا ... » أخرجه مسلم (1015)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala baik, tidak menerima kecuali yang baik.” HR. Muslim (1015)
Kedua, jauh dari perbuatan maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang berseberangan dengan syariat. Karena jika terkontaminasi ke dalam amal shalih apapun maka terkadang dapat menyebabkan tidak diterima amal tersebut, sedangkan untuk haji lebih-lebih lagi.
Ketiga, bersungguh-sungguh dalam menjaga kewajiban-kewajiban haji beserta sunnah-sunnahnya, dengan mengkuti nabi dalam mengejawantahkannya. Sambil mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Ta’ala –sebagaimana yang telah disinggung di muka-
Keempat, berakhlaq baik, lembut terhadap orang di sekitarnya, bersikap tawadhu’ (rendah hati) saat di kendaraan, rumah dan berinteraksi dengan orang lain, di setiap keadaan. Sebagaimana keadaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat berhaji.
Yang lebih baik lagi seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr sebagaimana yang tercantum dalam at-Tamhid (XXII/39), “Adapun haji mabrur adalah haji yang tidak terdapat unsur riya` (pamer diri) dan sum’ah (siar diri), dan tidak ada perkataan yang seronok serta tidak berbuat maksiat, dan dengan harta yang halal ...”

WASIAT KEENAM : Benar-Benar Memanfaatkan Waktu
Seorang muslim harus benar-benar bisa memanfaatkan waktu-waktunya dan menghabiskannya untuk berbuat keta’atan kepada Allah Ta’ala, baik dalam bentuk shalat, tilawah al-Qur`an, berzikir, membaca buku-buku yang bermanfaat, menuntut ilmu, dan disempurnakan dengan mencari sahabat yang shalih. Karena sesungguhnya seorang yang berhaji tidaklah meninggalkan negeri dan keluarganya melainkan untuk mengejar ganjaran dan pahala, dan ia berharap dapat pulang dengan memperoleh pengampunan dari Allah Ta’ala akan dosa-dosanya. Maka lazim baginya untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang utama ini di tempat-tempat yang suci dengan sebenar-benarnya. Berhati-hati dari sikap menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak berguna, dan menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat dan dosa sepanjang waktunya. Di tempat-tempat yang utama dan waktu-waktu yang berharga menjadikan at-tabi’ah (mengikuti nabi) lebih besar lagi ganjarannya. Dan terkadang pelaksanaan ketaatan dapat terkontaminasi, berakibat berkurangnya pahala.

WASIAT KETUJUH : Mengenai Taubat Nasuhah dan Pelunasan Hutang
Sering terlontar dari perkataan para ulama Rahimahumullah akan wasiat (pesan) yang ditujukan kepada orang yang hendak berhaji untuk melakukan taubat dari seluruh kemaksiatan, keluar dari tindakan menzalimi manusia, serta melunasi hutang-hutangnya. Karena ia tidak tahu apa yang terjadi padanya selama dalam perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji.
Dan banyak orang yang tidak mencamkan wasiat ini, maka anda saksikan salah seorang dari kalangan mereka yang berangkat menunaikan haji hingga kembali ke tanah airnya masih disilimuti dosa-dosanya dan tercemari dengan kesalahan-kesalahannya. Ia masih terus dalam keadaan berbuat demikian hingga di waktu-waktu ibadah haji yang terbilang utama, ditempat-tempat yang suci, belum juga dirinya melakukan taubat, tidak tampak dalam keadaannya rasa ingin menanggalkan dan menyesalinya. Perkara ini sudah selayaknya baginya untuk dicermati, dan wahai saudaraku perhatikanlah firman Allah Ta’ala :
 فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجّ  [البقرة/197]
“Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS.2:197)
Sesungguhnya taubat di waktu-waktu yang utama menjadi perkara yang agung, karena kebanyakan disaat-saat itulah jiwa-jiwa menerima segala bentuk ketaatan dan kecenderungan kuat untuk berbuat kebaikan, lalu ia akan menemukan pengakuan diri atas dosa-dosanya, rasa penyesalan terhadap apa yang telah berlalu, kalaupun tidak maka taubat merupakan kewajiban yang harus segera dilakukan di waktu manapun. Karena manusia tidak megetahui di paruh waktu yang mana dia akan meninggal dunia, lebih-lebih bagi orang yang sedang melakukan perjalanan dan dalam kerawanan karena keburukan itu akan mengantarkan kebentuk keburukan lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bertutur dalam Majmu’ al-Fatawa (XXXIV/180) bahwa segala bentuk kemaksiatan maka sanksinya disesuaikan dengan kedudukan waktu dan tempat saat melakukannya.”
Adapun mengenai hutang, maka pendapat para ulama bahwa ia termasuk sebab penghalang dari al-istitha`ah (kemampuan) yang disyaratkan dalam kewajiban haji, baik yag tergolong hutang ke Allah Ta’ala seperti nadzar dan kafarrat. Atau yang tergolong hutang kepada manusia seperti hutang, upah, dan lain sebagainya. Lalu andaikan pihak berhutang memiliki harta yang cukup untuk biaya haji dan melunasi hutang maka tidak mengapa baginya untuk berhaji. Namun demikian hendaknya ia menyegerakan pelunasan hutang-hutangnya untuk melepaskan dirinya dari tanggungjawabnya. Sebab ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi padanya. Seandainya ia menunda pelunasannya, ia harus menyisakan dari harta yang yang cukup untuk pelunasan hutang dan menyampaikan wasiat (ke ahli warisnya) mengenai hal tersebut. Contoh dalam perkara ini, seorang yang memiliki transaksi (mu’amalah) antara pihaknya dengan pihak lain, maka baginya hak-hak dari transaksi tersebut dan demikian pula pihak lain memiliki hak-haknya. Maka ia tetap berhak melakukan haji, namun ia harus menjelaskan mengenai hartanya dan mana yang menjadi hak pihak lainnya.
Adapun jika harta yang dimiliki hanya sedikit, tidak cukup untuk berhaji dan melunasi hutangnya, maka pelunasan hutang harus didahulukan. Sehingga ia menjadi orang yang tidak sanggup berhaji, maka ia tidak termasuk ke dalam keumuman firman Allah Ta’ala :
 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً  [آل عمران/97]
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS.3:97)
Dan tidak dianggap cukup dengan meminta izin pihak piutang untuk rela diundurkan pembayarannya, karena yang dimaksudkan adalah membebaskan tanggung jawab hutangnya (bara’ah adz-dzimmah), tidak ada permohonan izin kepada pemilik hak (pihak piutang), sebab seandainya ia diizinkan tetap saja ia tidak dapat membebaskan dirinya dengan izin tersebut dari tanggungjawabnya yang seharusnya.

WASIAT KEDELAPAN : Adab-Adab Secara Umum
Pelaksanaan haji memiliki tatakrama (adab) secara umum yang terkait dengan dirinya pribadi dan yang terkait dengan orang lain. Dan diantara yang terpenting, sebagai berikut:
1. Bersikap dengan menjalankan adab-adab safar (perjalanan), mulai dari membaca doa naik kendaraan, mendoakan keluarga dan kerabat yang ditinggal, saat turun dari kendaraan, bertakbir ketika berjalan menanjak dan bertasbih saat menuruni lembah, dan tidak jalan-jalan yang tidak ada perlunya, mendampingai terus kendaraannya, periksa spare partnya untuk dapat memastikan terus dalam keadaan yang baik untuk dikendarai dan dapat mengantarkan hingga ketujuan.
2. Bersabar dan mempersiapkan diri untuk beban yang dipikulnya. Tidak menggerutu sepanjang jalan atau di panas terik, atau saat berdesak-desakan atau di kala kekurangan makanan atau dan sebagainya. Karena sesungguhnya haji itu di dalamnya terdapat ujian berat dan keletihan, sekalipun jalanannya terhampar luas dan fasilitas angkutannya telah tersedia.
3. Wajib bagimu –wahai saudaraku yang dermawan- untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar, mengajarkan orang yang belum tahu, dan menunjuki orang yang tersesat. Fokus kepada perbuatan yang baik dan menebarkan manfaat kepada orang lain, sesuai kemampuan anda dalam mengemplimentasikan hal tersebut.
4. Taat kepada pemimpin dan tidak eksklusif secara pandangan pendapat dari rombongan anda, agar anda dapat terus mengimplementasikannya, dan suka melayani kepentingan rombongan anda serta memperhatikan istirahat mereka.
5. Jagalah lisan anda dari menggosip, kesia-siaan dan perkataan yang batil. Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam bercanda, sedangkan waktu-waktu anda sangat mulia, jam-jam anda sangat bernilai, jangan anda menyepelekannya dengan hal-hal yang semacam itu.


MASALAH-MASALAH
YANG DIBUTUHKAN
BAGI ORANG BERHAJI DAN BERUMRAH

 Haji istri dan anak-anak
Sudah selayaknya bagi para orang tua dan wali yang berkemampuan untuk menghajikan orang-orang yang berada dibawah tanggungannya dari kalangan putra dan putri mereka. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ » أخرجه البخاري (7138) ومسلم (1829)
“Setiap kalian pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab atas orang yang dipimpinnya.” HR. Bukhari (7138) dan Muslim (1829).
Penekanan tersebut termasuk pada hak anak putri yang belum menikah, karena haji seorang anak putri yang belum menikah lebih gampang dan mudah. Berbeda jika ia sudah menikah, lalu terkadang ia terhalang dengan kondisi kehamilan, menyusui dan pengasuhan anak. Maka hajinya anak putri yang belum menikah merupakan masa yang lebih tepat.
Bukan haknya bagi seorang suami untuk melarang istrinya berhaji karena ia merupakan kewajiban secara dasar syariah. Seyogyanya bagi seorang suami seandainya ia berkemampuan untuk bersegera menghajikan istrinya, terlebih bagi suami yang berikrar janji mengenai hal tersebut saat pernikahan. Maka mudahkan kepentingannya, bisa dengan melakukan perjalanan haji bersamanya, atau dengan mengizinkannya salah seorang saudara kandung laki-lakinya atau selainnya dari kalangan mahramnya untuk berhaji bersamanya. Dan ia berkewajiban untuk menggantikannya sementara dalam menjaga anak-anaknya dan membantu urusan rumah tangga, maka sang suami dalam hal ini akan mendapatkan ganjaran pahalanya.

 Minta diwakilkan dalam berhaji
Diperbolehkan al-istinabah (meminta diwakilkan) dalam menjalankan kewajiaban haji bagi orang yang berkemampuan secara harta namun renta secara fisiknya, dimana ia tidak kuat untuk melakukan perjalanan ke Mekkah disebabkan kelemhan fisiknya, atau penyakitnya yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau umurnya yang sudah tua, dan demikian pula kalau ia mampu berjalan namun dengan kesukaran perjalanan yang berat.
Demikian pula dengan orang yang telah meninggal dunia, wajib untuk menghajikannya disebabkan ia meninggalkannya semasa hidupnya. Baik mendiang mewasiatkan ataupun tidak, ini seandainya mendiang termasuk orang yang memiliki kemampuan untuk berhaji di masa hidupnya, namun ia belum berhaji juga hingga akhir hayatnya. Sebab perkara ini terbilang hutang kepada Allah Ta’ala, sementara hutang kepada Allah lebih berhak untuk didahulukan pelunasannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memiliki kemampuan untuk berhaji, dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratananya, maka itu tidak berdosa baginya dan tidak terbilang berhutang kepada Allah Ta’ala.
Dan ini berlaku untuk kewajiban haji, adapun al-istinabah dalam umrah (tathawwu’nya haji) maka dikalangan ahlul ilmi ada yang melarang hal tersebut, dengan alasan haji adalah ibadah dan perinsipnya adalah at-tauqif (ketetapan mutlaq berdasarkan petunjuk Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak ada ruang untuk ijtihad manusia di dalamnya., pent.), dan belum ada riwayat di dalam teks agama yang mengindikasikan diperkenankannya al-istinabah dalam ibadah sunnah (at-tathawwu’). Namun ada pula ulama yang memperbolehkan hal tersebut, berdasarkan analogi (qiyas) atas yang berlaku pada ibadah yang wajib (al-faridhah).
Persyaratan bagi pihak yang menggantikannya (an-naib); dirinya telah menjalani haji sebagai kewajiban agamanya, tidak mesti an-naib (pihak pengganti) harus berasal dari negeri yang sama dengan pihak pertama yang ingin berhaji dan menunjuknya sebagai penganti. Bahkan seandainya orang yang menggantikannya berasal dari penduduk Mekkah pun dibolehkan. Begitupula dengan hajinya seorang wanita untuk menggantikan pria dan hajinya pria untuk menggantikan wanita.
Tidak layak bagi seorang an-naib menjadikan uang sebagai tujuannya, karena sesungguhnya mencari rezeki dengan usaha-usaha yang seharusnya dan bukan berkedok keshalihan. Bahkan sebaliknya, mestinya ia menjadikan tujuannya untuk berbuat ihsan kepada saudaranya untuk melepaskan tanggungjawabnya, sambil bertujuan menyaksikan tempat-tempat yang diagungkan (al-masya’ir) dan melakukan peribadatan di dalamnya. Maka inilah yang disebut dengan muhsin (seorang yang berbuat ihsan), dan Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinin).
Kalaupun ia diberikan uang maka itu menjadi miliknya, maka ia boleh membelanjakan dari uang tersebut untuk keperluannya yang lazim, seperti makan, minum dan transportasinya. Jika masih ada sisanya, ia boleh menggambilnya. Demikianlah yang terjadi pada orang-orang sekarang. Dan para fukaha` (ulama fikih) memiliki pembahasan yang lebih rinci, dan di sini bukanlah tempatnya untuk menyebutkannya.
Adapun sifat pelaksanaan haji, berniat di dalm hatinya untuk berihram mewakili si fulan –yaitu orang yang digantikannya-kemudian ia mengucapkan, “Labbaika ‘umratan ‘an fulanin (Aku penuhi panggilan-Mu dengan mengerjakan umrah mewakili si fulan)”, atau “Labbaika hajjan wa ‘umratan (Aku penuhi panggilan-Mu dengan mengerjakan haji dan umrah) –tergantung jenis pelaksanaan yang diminta untuk dilakukannya-, seandainya ia lupa nama orang yang dihajikannya maka hal itu tidak merusaknya dan cukup dengan niat saja.
Wajib atas seorang an-naib untuk bertakwa kepada Allah, dan serius dalam menyempurnakan manasiknya, serta tidak memudah-mudahkan tahapan-tahapannya, karena ia diamanati untuk itu.

 Pakaian Ihram
Ihram adalah niat masuk untuk melaksanakan manasik haji, dan bukan perbuatan mengenakan pakaian ihramnya, karena mengenakan pakaian ihram merupakan persiapan untuk berihram yang tidak dianggap kecuali dengan niat.
Disunnahkan ihram pria dengan sarung (izar) dan selendang (rida`) yang keduanya berwarna putih lagi bersih sebagai upaya mengikuti Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan menjalani perintahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, diriwayatkan oleh Ahmad (VIII/500) serta lainnya, dengan sanad yang sahih.
Pengertian al-izar (sarung) adalah kain yang menutupi bagian bawah badan dan dikencangkan pada kedua pinggangnya. Sedangkan ar-rida` (selendang) adalah kain yang menutupi bagian atas badan dan diletakkan pada kedua pundak.
Sedangkan apa yang nampak di pasar-pasar di akhir-akhir ini adalah jenis izar yang berjahit, maka tidak layak untuk dikenakan karena adanya jahitan sehingga mengeluarkannya dari klasifikasi izar disebabkan dua alasan :
Pertama, dari sisi bahasa. Telah disebutkan dalam Tajul ‘Arus (III/11) bahwa izar adalah kain yang tidak berjahit, dan dikuatkan dengan perkataan seorang penyair :

Para petempur turun di setiap medan peperangan

Dan orang-orang baik mengikat al-uzur (sarung-sarung mereka)

Maka al-izar diikat pada kedua pinggang dan tidak dijahit.
Kedua, hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya :
« إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَخَالِفْ بَيْنَ طَرَفَيْهِ ؛ وَإِذَا كَانَ ضَيِّقًا فَاِتَّزِرْ بِهِ » متفق عليه
“Apabila bahan pakaian itu kelebaran (panjang) maka ikatlah kebelakang diantara dua ujungnya, dan apabila kesempitan (pendek) maka hendaklah bersarung dengannya.” Muttafaqun ‘Alaihi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan kepadanya kaifiat pakaian shalat, yaitu seandainya bahan pakaiannya panjang maka tutupi seluruh bagian badan. Namun seandainya kependekan maka cukuplah dengan menutup bagian bawah badan. Dapat diketahui dari sini, seandainya bahan tersebut sudah dijahit, bagaimana mungkin hal tersebut dapat dilakukan. Maka hal itu menandai bahwa al-izar adalah suatu penamaan bagi sesuatu yang menutupi bagian bahwa badan dan tidak berjahit.

 Pakaian yang harus dihindari oleh seorang yang berihram
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya,
« مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ ، وَلاَ الْعَمَائِمَ ، وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ ، وَلاَ الْبَرَانِسَ ، وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنْ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ » أخرجه البخاري (1542) ومسلم ( 1177) واللفظ له
“Pakaian apa yang dikenakan oleh orang berihram ?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kalian memakai gamis, jangan bersorban, jangan bercelana panjang, jangan bermantel, dan bercelana, kecuali seorang yang tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh memakai khuff (sepatu sandal), maka potonglah kedua khufnya dibawah kedua matakaki, dan jangan memakai pakaian yang tersentuh za’faran dan wars (parfum).” HR. Bukhari (1542) dan Muslim (1177), dengan lafaz Muslim.
Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (perkataan singkat dengan sarat makna, pent.), maka sebenarnya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang apa yang harus dikenakan seorang yang berihram. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan pakaian yang tidak boleh dikenakan, untuk menjelaskan bahwa semua yang selain yang telah disebutkan tadi dan yang semacamnya, maka boleh dipakai oleh seorang yang berihram. Beliau menyebutkan 6 (enam) jenis di dalam hadits ini :
1. Al-Qumush kata plural dari qamish (gamis), yaitu pakaian yang memiliki lengan baju. Serupa dengannya semacam jubah (sejenis pakaian luar seperti jaket, jas, dll. Pent.), kaos.
2. Al-Ama`im kata plural dari imamah (sorban), yaitu yang dililitkan diatas kepala. Dianalogikan dengan kopiah dan yang semakna dengannya termasuk dalam jenis ini
3. As-Sarawilat kata plural dari sarawil (celana panjang), yaitu bahan sarung yang memiliki jahitan, dianalogikan celana pendek termasuk dalam jenis ini. Namun dibolehkan mengenakan celana panjang disebabkan tidak mendapatkan kain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
4. Al-Baranis kata plural dari burnus (mantel), yaitu pakaian lengkap untuk badan dan kepala, dianalogikan untuk semua yang serupa dengan mantel.
5. Al-Khifaf kata plural dari khuff (sepatu sandal), yaitu yang dipakai pada kaki untuk menutupinya dan terbuat dari kulit. Boleh dipakai ketika tidak mendapatkan sandal. Dan tidak mesti dipotong dibawah matakaki, karena perintah tersebut sudah dibatalkan (mansukh). Inilah 5 (lima) jenis yang secara khusus disebutkan dalam hadits ini.
6. Pakaian yang diberikan parfum za’faran atan kasturi, dianalogikan seluruh jenis wangi-wangian. Dan ini diharamkan terhadap pria dan wanita.
Ketentuan baku dari apa yang telah dikemukan, bahwa setiap yang berjahit yang dikenakan oleh badan atau oleh bagian tertentu darinya atau anggota dari bagian-bagiannya tertentu maka diharamkan dan dilarang.
Telah populer di dalam buku-buku Manasik Haji, lafaz “al-makhith (berjahit)”. Kata ini belum pernah diriwayatkan dalam as-Sunnah, hanya saja sering terucap oleh lisan para tabi`in . Sehingga istilah itu banyak digunakan dalam buku-buku fikih. Terpersepsikan kebanyakan orang bahwa yang dimaksud dengan kata “al-makhith (berjahit)” itu adalah segala hal yang ada jahitannya. Maka mereka berpersepsi bahwa tidak dibolehkan mengenakan selendang yang bersambung karena kependekan, atau karena kesempitan. Atau yang dijahit sebab robek, demikian juga dengan sepatu, ikat penggang yang ada jahitannya. Kesemua ini tidaklah benar, bahkan yang dimaksudkan dengan kata tersebut seperti yang telah dijelaskan di muka, dan bukan yang dimaksudkan adalah pokoknya yang berjahit. Sekalipun para ulama fikih menspesifikkan hanya pada apa yang diriwayatkan dalam hadits yang telah disebutkan namun termasuk semua yang serupa dengannya, dan itu sudah sangat jelas dan jauh dari kerancuan.

 Pakaian yang harus dihindari oleh wanita
Adapun wanita maka berihram dengan pakaian yang dikehendakinya, tanpa ditentukan dengan warna tertentu, dengan syarat pakaiannya tidak menarik pandangan, atau mirip seperti pakaian berwana putih, dan dilarang dalam dua hal :
Pertama, an-niqab (cadar) yaitu kain yang menutupi wajah yang berlubang untuk kedua mata. Tidak boleh untuk digunakan.
Kedua, al-quffaz (sarung tangan) yaitu penutup yang memiliki tempat jari-jari yang dimasukan ke dalamnya telapak tangan. Ia dikenal dengan kaos tangan. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« وَلاَ تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ » أخرجه البخاري (1542) ومسلم (1177) من حديث ابن عمر رضي الله عنهما ، وهذا لفظ البخاري (1838)
“Dan janganlah wanita yang sedang ihram bercadar, dan janganpula menggunakan sarung tangan.” HR. Bukhari (1542) dan Muslim (1177) dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, dan ini lafaz Bukhari (1838)
Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian wanita dengan mengenakan cadar dan diatasnya jilbab untuk maksud melihat jalan. Secara tekstual –Wallahu a’lam¬- bahwa keumuman larangan mengenai an-niqab secara keseluruhan dalam penggunaannya. Jika dikatakan, “Bukankah tidak mengapa jika dibutuhkan, sedang bentuknya tidak terlihat. Maka jawabnya, “Bahwa setiap melakukan apa yang dilarang dalam ihram sekalipun itu mendesak (lil hajah) akan dikenai fidyah. Sedang bentuknya yang tidak nampak, maka tidaklah berpengaruh pada hukum, sebagaimana yang dikemukan di muka.
Dibolehkan bagi pria dan wanita mengganti baju ihramnya dan mencucinya seusai ihram. Sementara yang diyakini oleh sebagian wanita bahwa wanita yang sedang ihram harus tetap pada pakaian ihramnya, tidak boleh baginya untuk mengganti dan mencucinya maka kesemuanya itu tidak ada asalnya, Wallahu A’lam...

 3 (tiga) jenis manasik haji
Mengutip Ibnu Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni (V/82), “Para ulama bersepakat tentang diperbolehkannya berihram dengan memilih salah satu dari ketiga jenis manasik haji yang dikehendakinya, sedangkan perselesihan pendapat hanya dalam konteks mana yang lebih utama (al-afdhal).”
Dan jenis menasik yang paling utama (afdhal) bagi orang yang belum membawa hewan kurban (dam, pent.) adalah at-tamattu’, yaitu berihram dengan niat umrah pada bulan-bulan haji, kemudian bertahallul darinya, selanjutnya kembali berihram dengan niat haji di hari kedelapan (tarwiyah).
Sedang bagi yang telah membawa hewan kurban, maka jenis al-qiran lebih utama (afdhal) baginya. Yaitu berihram dari miqat dengan niat umrah dan haji secara bersama. Dan ini adalah jenis manasik yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena beliau memerintahkan sahabatnya (yang tidak membawa hewan kurban, pent.) untuk mengambil jenis at-tamattu’. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« لَوْلاَ أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لأَحْلَلْتُ »
“Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, maka aku akan bertahallul.”
Dan dengan redaksional hadits lainnya :
« وَلَوْلاَ هَدْيِي لَحَلَلْتُ كَمَا تَحِلُّونَ » أخرجه البخاري (1651-7367) ومسلم (1216)
“Jika tidak ada hewan kurbanku, maka aku akan bertahallul sebagaimana kalian bertahallul (sekarang).” HR. Bukhari (1651,7367) dan Muslim (1216).
Maka jika berihram dengan jenis qiran sementara ia tidak membawa hewan kurban maka dibolehkan. Namun ia tetap harus berkurban menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, sebagai analgi (qiyas) atas jenis at-tamattu` karena ia dalam makna yang sama.
Tidak ada perbedaan dalam hukum at-tamattu` dan al-qiran antara penduduk Mekkah dan pendatang, kecuali bahwa penduduk Mekkah tidak wajib atas mereka menyembelih hewan kurban, karena keberadaan mereka sebagai penduduk sekitar Masjidil haram. Menurut salah satu pendapat, ini adalah syarat dari firman Allah Ta’ala :
 ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ  [البقرة/196]
“Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)..” (QS.2:196)
Kewajiban fidyah di sini dalam bentuk berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
Adapun orang yang berihram dengan niat berhaji saja –dinamai dengan istilah al-ifrad- dan demikian pula dengan al-qiran yang tidak membawa hewan kurban, maka sesungguhnya disunnahkan baginya untuk mengalihkannya ke umrah. Sebagaimana ia merupakan pendapat dari mazhab Imam Ahmad, sedang sekelompok ulama berpendapat pengalihan itu hukumnya wajib, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya untuk melakukannya.
Seandainya waktunya sangat sempit, seperti orang yang berihram pada waktu subuh di hari Arafah, maka ada beberapa kemungkinan. Ada yang mengatakan dimungkinkan untuk mengambil at-tamattu’, dan ada pula yang mengatakan agar ia berihram dengan al-ifrad atau al-qiran. Dan pendapat inilah yang mengemuka. Karena bentuk at-tamattu’ tidak tepat, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
 فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ  [البقرة/196]
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan haji) ....” (QS.2:196)
Atas dasara ini maka tetaplah pada jenis manasiknya dan tidak disyariatkan baginya untuk mengalihkannya disebabkan waktunya yang sempit, karena al-ifrad sendiri merupakan salah satu dari 3 (tiga) jenis manasik, lebih-lebih bagi orang yang melakukan haji al-ifrad dengan melakukan perjalanan tersendiri untuk umrahnya. Wallahu a’lam.
Demikian pula dengan seorang wanita yang berhaji at-tamattu’, dimana ia berihram dengan niat umrah, jika ia keluar darah haid sebelum melakukan tawaf, dan kuatir kehilangan hajinya, jika ia belum bersuci hingga hari Arafah. Maka sesungguhnya ia berihram dengan niat haji dan menjadikan manasiknya sebagai al-qiran. Demikian pula seandainya seorang yang kuatir kehilangan hajinya, is berihram dan merubahnya menjadi al-qiran berdasarkan apa yang dilakukan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

 Shalat ihram
Mayoritas ulama memandang sunnah melakukan shalat 2 (dua) raka’at sebelum berihram, sebagai upaya meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka sesungguhnya beliau berihram di hari Haji Wada’nya setelah melakukan shalat wajib. Dan ketika situasinya –Wallahu a’lam- bahwa ketika ia berihram bertepatan dengan waktu shalat fardhu, maka berihramlah setelahnya da itu baik. Demikian pula seandainya ia berihram setelah shalat sunnah yang berulang seperti dua rakaat shalat dhuha. Kalaulah tidak menghendaki –dan sebenarnya ihram tidak memiliki shalat yang khusus baginya- maka berihram tanpa disertai shalat dua raka’at. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai hal itu, namun siapa yang berihram dari Dzul Hulaifah (yaitu, miqatnya penduduk Madinah yang disebut dengan Abar ‘Ali, pent.) disunnahkan baginya untuk melakukan shalat 2 (dua) raka’at. Berdasarkan hadits Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di lembah al-Aqiq, bersabda :
« أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ » أخرجه البخاري (1534)
‘Telah datang utusan (malaikat) dari Rabbku kepadaku, maka ia berkata : {{ Shalatlah kamu di lembah yang diberkahi ini dan ucapkanlah “Umarah dalam haji” }}’.” HR. Bukhari (1534).
Tekstualnya bahwa shalat ini khusus di lokasi tersebut saja dikarenakan keberkahannya. Bukan dikhusukan untuk ihram. Maka sesungguhnya shalatnya itu dapat diinterpretasikan sebagai shalat fardhu, dan bukan shalat ihram dua rakaat. Dan dimungkinkan pula diintepretasikan sebagai shalat disebabkan ihram, namun hukumnya ini tidak ditetapkan berlaku di tempat-tempat miqat. Wallahu a’lam.

 Penggunaan sabun bagi orang berihram
Dibolehkan bagi orang berihram dengan penggunaan sabun untuk menghilangkan kotoran, daki dan lain sebagainya, karena ia bukan parfum serta penggunaannya tidak terbilang sebagai pewangi. Demikian diperbolehkan baginya untuk menggunakan produk-produk modern dalam mencuci kepalanya. Para pakar fikih membolehkan pewangi herbal yang aroma harumnya tumbuh dengan sendirinya, seperti tumbuhan syih dan khuzama dan semacam keduanya Atau yang sengaja ditanam orang seperti daun kemangi persia (raihan farisi) –dia adalah tumbuhan habaq- dan semacamnya tumbuhan an-na’na’.
Adapun za’faran adalah pewanggi yang dilarang, karenanya untuk lebih preventif lagi untuk tetap meninggalkan campuran za’faran ke dalam minuman kopi selama berihram. Telah diriwayatkan pelarangannya bagi orang berihram untuk memakai pakaian yang bersentuhan dan za’faran. Ia dapat menggunakan hail dan qaranfil ke dalam campuran kopinya karena keduanya tidak termasuk yang dinamakan pewangi yang dilarang.
Dibolehkan bagi orang berihram mengolesi badannya dengan minyak dan semacamnya dari produk-produk modern. Sedangkan meminyaki bagian kepalanya maka terdapat perselisihan pendapat yang telah umum diketahui, keputusan untuk meninggalkan adalah lebih utama.

 Idhthiba’
Yaitu meletakkan bagian tengah selendang dibawah ketiaknya kanan, dan menaruh kedua ujungnya diatas pundak kiri. Ini termasuk sunnah-sunnah tawaf qudum –merupakan tawaf yang pertama saat datang ke Makkah-. Dan idhthiba’ ini dilakukan jika hendak bertawaf, dan bukannya seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang berihram yang sudah ber-idhthiba’ sejak ia memulai ihram hingga ia melepaskan pakaian ihramnya. Perbuatan ini tidak berdasar, maka seyogyanya untuk mencermatinya dan mewaspadainya. Ibnu Abidin menuturkan dalam Hasyiyahnya (II/512), “Disunnahkan untuk mulai ber-idhthiba’ sejenak sebelum tawaf hingga selesainya, tidak lebih dari itu).”

 Syarat thaharah (bersuci) untuk melakukan tawaf
Mayoritas ulama berpendapat untuk mensyaratkan keadaan suci dalam bertawaf, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلاَمِ » أخرجه الترمذي (960) والدارمي (1/374) وابن خزيمة (4/222) والحاكم (1/409) (2/267) وهو حديث مختلف في رفعه ووقفه
“Tawaf di Baitullah semacam shalat, maka kurangilah pembicaraan). HR. Tirmidzi (960), Darimi (I/374) dan Ibnu Khuzaimah (IV/222), dan Hakim (I/409, II/268). Merupakan hadits yang diperselisihkan kemarfu’an dan kemauqufannya.

Berdasarkan penuturan Aisyah Radhiyallahu 'Anha :
« أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ » أخرجه البخاري (1536) ومسلم (1235)
“Sesungguhnya pertama kali yang mulai kerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam saat datang (untuk berhaji), bahwa beliau berwudhu` kemudian bertawaf.” HR. Bukhari (1536) dan Muslim (1230).
Ini seandainya bagi orang yang dapat melakukannya, sebagai penjelasan dari firman Allah Ta’ala :
 وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ  [الحج/٢٩]
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS.22:29)
Bagi orang yang berpendapat demikian. Namun belum pernah ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan bersuci (thaharah) untuk tawaf, dan tidak ada larangan bagi orang yang berhadats untuk bertawaf. Tetapi beliau memang bertawaf dalam keadaan suci dan melarang wanita haid untuk bertawaf. Larangan bagi wanita haid tidak berarti berlaku larangan pula bagi seorang yang berhadats. Tidak diragukan memang bahwa bertawaf dengan bersuci adalah lebih utama (afdhal), lebih berhati-hati (ahwath) dan lebih dapat dipertanggungjawabkan serta mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ » أخرجه مسلم (1297)
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).” HR. Muslim (1297).
Namun seandainya seorang berhadats waktu bertawaf, terlebih lagi saat di paruh-paruh akhir yang sangat berdesak-desakan, seperti pada hari-hari haji. Maka jawabannya bahwa ia tetap diharuskan untuk berangkat, berwudhu’ dan memulai tawafnya yang penuh rintangan berat. Sekalipun demikian tidak ada dalil yang jelas, dan pendapat yang mengharuskan orang (untuk berwudhu’, pent) masih terdapat perselisihan di antara para ulama mengenai hal itu. Asasnya adalah manasik (tata laksana) haji dibangun atas prinsip memudahkan. Wallahu a’lam.

 Jika iqamat shalat terdengar saat bertawaf
Jika iqamat shalat dikumandangkan atau dihadirkan jenazah yang hendak dishalatkan saat bertawaf, maka ia mendirikan shalat kemudian memulai kembali seusai shalat dari tempat dimana ia berhenti. Dan sebagian putaran yang telah dilakukannya sebelum ia menghentikan tawafnya tetap dihitung. Dan ia tidak mesti memulai dari sudut hajar aswad, dan inilah pendapat yang terkuat dari dua pendapat dikalangan ulama. Karena hal itu telah ditolerir secara agama, dan tidak ada satu dalilpun yang menerangkan batalnya putaran pertamanya.
Adapun jika ia berhadats saat bertawaf karena kentut atau lainnya, dan ia pergi untuk berwudhu, lalu ia jika kembali lagi maka ia melanjutkan tawafnya dari awal lagi –menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat ahlul ilmi- sebagai analogi (qiyas) dari shalat, karena tawaf bagian dari jenis shalat secara umum. Seperti yang difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah (al-Fatawa, XXVI/216).

 Orang yang bertawaf dengan memanggul anak
Terkadang seseorang bertawaf dengan membawa orang lain yang dipanggulnya, seperti seorang anak kecil yang berihram pula, maka terjadilah tawafnya orang yang memanggul dan dipanggul. Tidak harus seorang yang sedang memanggul untuk menawafkan dirinya sendiri dengan melakukan tawaf yang tersendiri. Karena masing-masing dari keduanya melakukan tawaf dengan niat yang sahih dan realnya mereka benar-benar bertawaf. Sedang anak kecil tadi, jika ia telah mumaiyiz (baligh) maka ia berniat sendiri untuk tawaf. Sementara bagi anak yang belum mumaiyiz maka walinya meniatkan tawaf untuknya. Dan inilah pendapat yang kuat –insya Allah Ta’ala- diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma dalam kisah wanita khats’amiyah, ia berkata :
« فَرَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا فَقَالَتْ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكِ أَجْر» أخرجه مسلم (1336) .
“Maka wanita tersebut mengangkat anaknya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seraya bertanya, ‘Apakah anak ini terbilang haji?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Iya, dan kamu pun mendapatkan pahala’.” HR. Muslim (1336).
Penekanan dalil di atas adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan kepada wanita itu tentang sahnya haji anak kecil tersebut, dan tidak memerintahkan wanita itu untuk melakukan tawaf tersendiri untuk dirinya, sekaligus berkedudukan sebagai kedudukan penjelasan, sedangkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak dibolehkan. Ketika beliau tidak memerintahkan wanita itu untuk bertawaf, maka hal ini menunjukkan tentang diperkenankan tawaf wanita tersebut dengan memanggul (anak kecil tersebut), dan dihitung sebgai tawaf untuk keduanya secara bersamaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut belum baligh (ghairu mumaiyiz) maka walinya harus melakukan tawaf untuk dirinya sendiri, kemudian bertawaf dengan anak kecilnya atau bisa juga dengan menyerahkan anak tersebut kepada orang yang dipercaya untuk bertawaf dengannya. Karena anak kecil belum sempurna niat serta amalnya, dan tidak sah satu amal dengan dua niat untuk dua personal. Sedang sa’i berlaku pula hukum tawaf tadi dalam perkara hukum ini menurut pendapat yang lebih utama.
Demikian pula seandainya ia mendorong kursi roda yang dinaiki oleh anak kecil, atau orang tua renta, atau orang sakit, apakah ia mendapat bagian dari penumpangnya yang didorongnya? Dan siapa yang harus mendorong kursi roda tersebut? Wallahu a’lam.

 Shalat tahiyatul masjidil haram
Shalat tahiyatul masjidl haram adalah shalat dengan dua raka’at seperti shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya berdasarkan keumuman dalil-dalilnya. Ini berlaku bagi orang yang memasuki masjidil haram untuk menunggu waktu shalat, atau menunggu orang lain yang menemaninya, dan lain sebagainya.
Adapun bagi orang yang memasukinya dengan tujuan bertawaf, baik untuk niat haji atau pun umrah, atau yang bersifat tathawwu’ (sunnah) saja, maka orang ini memulainya dengan tawaf, sebagai tahiyatul masjid pada dasarnya. Dan bukannya dia shalat dua raka’at kemudian memulainya tawaf –sebagaimana yang dilakuakan oleh sebagian orang-. maka sesungguhnya ini adalah perbedaan sunnah, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika masuk ke dalam masjidil haram memulainya dengan bertawaf, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu dan sahabat lainnya. Sebab maksud dari iftitah makanil ibadah (pembuka untuk masuk ke tempat ibadah) adalah dengan ibadah, sedangkan ibadah tawaf mengantarkan kepada tujuan ini.

 Mendahulukan sa’i dari tawaf
Sunnah untuk mengedepankan tawaf daripada sa’i, baik dalam pelaksanaan haji ataupun umrah, dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan mayoritas ulama, “Sesungguhnya tidak diperbolehkan mendahulukan pelaksanaan sa’i daripada tawaf, maka siapa yang mengedepankan sa’i dari tawaf, maka ia harus mengulanginya setelah tawaf.”
Dalil mereka dalam hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Cara Nabi inilah yang sudah selayaknya untuk diambil oleh setiap muslim, namun seandainya ia melakukan sa’i sebelum bertawaf dikarenakan ketidak tahuan (jahilan) atau lupa (nasiyan), maka sa’inya tetap dianggap sah –Insya Allah-, dan ia tidak diharuskan untuk mengulanginya setelah tawaf. Sebagian ulama salaf dan khalaf telah mengutarakan pendapat tersebut, tetapi sebagian mereka mempersyaratkan hal itu dikarenakan lupa tanpa unsur kesengajaan, dan sebagian lain secara mutlak dan tidak mengaitkan dengan syarat apapun.
Dalam konteks ini, diriwayatkan pula hadits Usamah bin Syarik Radhiyallahu ‘Anhu bertutur,
« خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجًّا فَكَانَ النَّاسُ يَأْتُونَهُ فَمَنْ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعَيْتُ قَبْلَ أَنْ أَطُوفَ أَوْ قَدَّمْتُ شَيْئًا أَوْ أَخَّرْتُ شَيْئًا فَكَانَ يَقُولُ لاَ حَرَجَ لاَ حَرَجَ إِلاَّ عَلَى رَجُلٍ اقْتَرَضَ عِرْضَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَهُوَ ظَالِمٌ فَذَلِكَ الَّذِي حَرِجَ وَهَلَكَ» أخرجه أبو داود (2015) وإسناده صحيح
“Aku keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berhaji, maka orang-orang mendatanginya, lalu ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aku mengerjakan sa’i sebelum aku bertawaf, atau aku mengedepankan sesuatu, atau mengakhirkan sesuatu.’ Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : ‘Tidak berdosa, tidak berdosa. Kecuali atas orang yang melakukan fitnah terhadap kehormatan seorang muslim, dan dia orang yang zalim. Maka demikian itulah yang berdosa dan celaka’.” HR. Abu Dawud (2015) dan isnadnya sahih,
Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dan Bin Baz –semoga keduanya dirahmati Allah), “Makna “iftaradha” di hadits tersebut adalah iqtatha’a yaitu mencacinya.
Hal ini bersifat umum berlaku dalam sa’i umrah mupun sa’i haji, namun dikritisi oleh sebagian ulama mengenai redaksinya yang berbunyi :
« سَعَيْتُ قَبْلَ أَنْ أَطُوفَ»
“Aku mengerjakan sa’i sebelum aku bertawaf.”
Al-Hafidz al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (V/146), ‘Redaksi ini: {{ Sa’aitu qabla an athufa (aku mengerjakan sa’i sebelum aku bertawaf). }} adalah gharib (hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad, pent.), Jarir yang meriwayatkannya dari Asy-Syaibani. Seandainya pun hadits tersebut mahfudz (terjaga sanadnya hingga ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pent.), maka sepertinya ia bertanya kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai seseorang yang bersa’i setelah tawaf qudum (tawaf kedatangan) sebelum tawaf ifadhah (tawaf ziyarah). Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak berdosa, tidak berdosa.” Wallahu a’lam. Imam Ibnu al-Qaiyim demikian pula pendapatnya dalam Zadul ma’ad (II/259), ia berkata, “Perkataannya: {{ Sa’aitu qabla an athufa (aku mengerjakan sa’i sebelum aku bertawaf ). }} dalam hadits ini laisa bi mahfudz (sanadnya tidak terjaga). Sedang hadits yang mahfudz menyatakan, ‘mengedepankan lontar jamrah, menyembelih, mencukur sebagian atas sebagian yang lain’.”
Atas dasar ini, maka pendapat yang paling preventif adalah tidak mengedepankan sa’i. Siapa yang mengedepankan sa’i karena tidak tahu (jahilan) atau lupa (nasiyan) kemudian bertawa setelahnya, semoga saja ia tetap mendapatkan pahalanya. Jika untuk kehati-hatian dirinya, mengambil sikap yang keluar dari perselisihan pendapat ulama. Yaitu ia melakukan sa’i (lagi) yang kedua setelah tawafnya itu, maka itu lebih sempurna dan baik. Karena hadits sebagaimana yang anda perhatikan terkandung banyak komentar, sedang hakikat ilmunya yang sebnarnya di sisi Allah Ta’ala.

 Kewajiban untuk menetap di Arafah hingga matahari terbenam
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wukuf (hadir) di Arafah masanya hingga terbenamnya matahari, bagi yang wukuf di siang hari menjadi hukumnya wajib masuk dalam kewajiban-kewajiban hajinya.. Maka siapa yang keluar sebelum matahari terbenam, berarti ia telah meninggalkan kewajibannya, namun hajinya tetap sah. Wajibnya adalah menghimpun antara siang dan sebagian dari periode malam, berdasarkan sebagai berikut :
1. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwukuf seperti itu, dan bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Dan keadaan beliau yang tetap berada di Arafah sampai setelah terbenam matahari kemudian bertolak, sebagai dalil mengenai wajibnya hal tersebut. Karena bertolak di siang hari lebih mudah, terlebih lagi di zaman sekarang ini. Dimana orang-orang (dulu) bertolak dengan berjalan kaki dan ada yang menunggangi onta, dengan kondisi seperti ini beliau tidak bertolak kecuali setelah matahari terbenam.
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertolak dari Arafah sebelum shalat maghrib, sedangkan waktu Maghrib pada saat itu sudah masuk. Seandainya hendak bertolak sebelum terbenam matahari maka tetap dibolehkan untuk dapat bertolak dan melakukan shalat maghrib di Muzdalifah pada awal waktunya.
Telah diriwayakan dalam hadits ‘Urwah bin al-Mudharris bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« مَنْ شَهِدَ صَلاَتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ » أخرجه أبو داود (1950) والنسائي(5/263) والترمذي (891) وابن ماجه (3016) وأحمد (26/142) وقال الترمذي:( هذا حديث حسن صحيح )
“Barangsiapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wukuf bersama kami sampai kami bertolak, dan telah berwukuf di Arafah sebelumnya pada malam atau siang hari, maka telah sempurna hajinya dan telah menunaikan manasiknya.” HR. Abu Dawud (1950), an-Nasa`i (V/263), Tirmidzi (891), Ibnu Majah (3016), Ahmad (XXVI/142), dan Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan sahih.”
Orang-orang yang berpendapat dibolehkan untuk berangkat dari Arafah sebelum terbenam matahari berpegang pada hadits ini. Karena sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “naharan (siang hari)” menandai bahwa orang yang wukuf di siang hari dan bertolak sebelum matahari terbenam, bahwa hajinya telah sempurna. Dan pengungkapannya pun dengan menggunakan redaksi yang sempurna dan tegas-tegas membolehkan hal tersebut, serta tidak dikenai dam. Dan pengambilan argumentasinya cukup jelas, kecuali yang menyelisihi dengan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para khalifah sepeninggalnya.

 Meninggalkan Muzdalifah setelah bulan terbenam
Hadits sahih menunjukkan bagi orang yang lemah dari kalangan wanita, anak-anak dengan rombongan mereka untuk meninggalkan Muzdalifah menuju Mina setelah bulan terbenam. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar serta hadits Asma –Radhiyallahu ‘Anhum-, dan terdapat pula dalam ash-Shahihain dan hadits-hadits lainnya.
Maka jika telah sampai di Mina, mereka (bisa langsung) melontar Jamrah Aqabah, dan boleh bercukur serta melakukan tawaf di Baitil Haram.
Adapun orang yang fisiknya kuat, maka tidak diperkenankan bagi mereka melontar Jamrah Aqabah sebelum matahari terbit, karena keseluruhan hadits yang diriwayatkan dalam hal dibolehkannya melontar sebelum matahari terbit semuanya ditujukan kepada orang yang lemah, dan tidak menyinggung sedikitpun untuk laki-laki yang fisiknya kuat.
Namun siapa saja yang masuk dalam katagori “lemah” ini maka baginya berlaku hukum yang sama berdasarkan konteks zahir dalil-dalilnya. Sedangkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bertutur, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada kami, ‘jangan kalian melontar sampai terbitnya matahari’.” HR. Ahmad dan para penulis as-Sunan, namun status sanadnya lemah. Imam Bukhari Rahimahullah juga menilai lemah hadits ini dalam At-Tarikh ash-Shaghir (hal.135). Dan bagi yang menetapkannya sahih, sebagaimana Tirmidzi dan Ibnu Hibban Rahimahumallah perpandangan, “Mengandung cedera.” Al-Hafiz Ibnu Hajar Rahimahullah mewanti-wanti hal tersebut dalam Fathul Bari (III/529). Wallahu a’lam.
Berikut ini eksplorasi sederhana dari dalil-dalil yang sangat relevan dengan zaman ini, untuk keadaan orang yang masuk dalam katagori “kelompok lemah” berlaku hukum keringan tersebut, maka ia pergi bersama “kelompok lemah” tersebut seperti kelompok wanita yang menuju Jamrah Aqobah untuk melontar, namun orang tersebut tidak melontar melainkan pergi ke Baitul Haram untuk tawaf, maka kapan waktu untuk melontarnya ? Selanjutnya situasinya dengan kondisi berdesak-desakan di malam hari untuk para wanita melontar, kemudian ia kembali berdesak-desakkan setelah matahari terbit untuk melontar bagi dirinya sendiri ??

 Amalan-amalan pada hari kurban beserta urutannya.
Amalan-amalan hari kurban 4 (empat) macam :
1. Melontar Jamrah Aqabah
2. Menyembelih hewan kurban (seandainya diwajibkan atasnya hewan kurban, yaitu bagi orang yang berhaji dengan cara at-tamattu’ dan qiran.
3. Cukur rambut
4. Tawaf Ifadhah
Dengan melontar dan cukur rambut telah meraih tahallul awal –menurut pendapat yang paling mengemuka dalam masalah ini- sedangkan untuk penyembelihan hewan kurban tidak pengaruhnya untuk tahallul, kecuali bagi orang berhaji qiran bahwa diutamakan (al-afdhal) untuk tidak bertahallul sampai ia menyembelih hewan kurbannya untuk meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Diutamakan (al-afdhal) bahwa orang berhaji untuk melakukan amalan-amalan ini secara urut, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dimana beliau melakukan lontar, kemudian menyembelih, lalu mencukur rambutnya, selanjutnya bertawaf. Dan tidak mengedepankan sebagian dari sebagian lainnya kecuali jika lupa atau tidak tahu (jahilan) –sebagaimana as-Sunnah menunjuki hal tersebut, dan pendapat ini statusnya ijma (telah tercapai konsesnsus ulama-. Adapun orang sengaja melakukannya secara tidak urut, dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Untuk itu, maka sikap yang lebih hati-hati (preventif (al-ahwath)) bagi seorang mukallaf (yang dibebani ketentuan hkum, pent.) untuk tidak menyengaja mengedepankan yang satu atas yag lainnya, sewaktu ia masih sanggup untuk menjalaninya secara tertib dan tidak halangan yang berta merintanginya. Bahkan mengurutkannya secara tertib merupakan tindakan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan terbebas dari perbedaan pendapat ulama. Sekalipun aku berpihak mengenai hukum secara umum terhadap orang yang tidak tahu dan selainnya, namun sebagian orang yang menyelisihi urutan pelaksanaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut dengan alasan yang paling sedikit atau bahkan tanpa alasan sama sekali, dan ini tidaklah pantas. Karena asalnya adalah tertib, maka sesungguhnya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan manasik di hadapan umatnya. Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”

 Tempat penyembelihan hewan kurban
Mayoritas ulama (al-jumhur) berpendapat bahwa memotong hewan kurban harus di Tanah Suci Mekkah atau Mina atau Muzdalifah, baik penyembelihan hewan kurban dimaksudkan untuk tatawwu` (sunnah), atau tamattu’ dan qiran. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
 ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ  [الحج/33]
“Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).” (QS.22:33)
Yang dimaksud adalah Tanah Suci seluruhnya, sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli tafsir (al-mufasiirun). Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« نَحَرْتُ هَاهُنَا وَمِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ » أخرجه مسلم من حديث جابر  (1218) (149) ، وعند أبي داود (1937) وابن ماجة (3048)
“Aku menyembelih di sini, dan Mina semuanya tempat penyembelihan.” HR. Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu (149, 1218), Abu Dawud (1937), dan Ibnu Majah (3048).
Sedangkan pada Ahmad (XXII/381) dengan redaksi :
« كُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ »
“Semua lorong Mekkah adalah jalan dan tempat penyembelihan.”
Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi (V/239) dengan sanadnya yang sahih, dari Atha’ dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bersabda
« مَنَاحِرُ الْبُدْنِ بِمَكَّةَ وَلَكِنَّهَا نُزِّهَتْ عَنِ الدِّمَاءِ وَمِنًى مِنْ مَكَّةَ »
“Tempat penyembelihan hewan kurban di Mekkah, namun ia dibersihkan (haram) dari (pertumpahan) darah. Dan Mina termasuk kawasan Mekah.”
Atas dasar ini, maka tidak dilakaukan penyembelihan hewan kurban di Arafah dan tempat lainnya, karena lokasi tersebut telah keluar dari wilayah Tanah Suci. Penyembelihan di luar Tanah Suci tidak dianggap sah menurut pendapat yang masyhur dari para ulama, sebagian orang terkadang melakukan hal tersebut, dan selayaknya untuk dicamkan.
Adapun kurban untuk pelaksanaan (manasik) yang terhalang –seperti cukur rambut-, maka ini dibolehkan di lokasi pelaksanaan yang terhalang, dan dibolehkan di anah Suci. Karena apa yang dibolehkan di lokasi yang dihalalkan (selain tanah al-haram) maka dibolehkan pula di tanah suci (al-haram), kecuali denda (pelanggaran) berburu maka harus ditunaikan di tanah al-haram (suci). Berdasarkan firman Allah Ta’ala
 فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ  [المائدة/95]
“Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka`bah.” (QS.5:59)
Sedang pelaksanaan kurban yang terisolir –yaitu adanya penghalang yang merintangi untuk bisa sampai ke Baitul Haram- maka ia menyembelih hewan kurbannya di tempat ia terisolir. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
 فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ [البقرة/196]
“Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.” (QS.2:196)

 Lokasi pendistribusian daging hewan kurban
Daging hewan kurban didistribusikan di dalam batasan kawasan Tanah Suci. Kemudian untuk kurban haji tamattu’ atau haji qiran atau tathawwu’ maka bagi orang yang berkurban mengambil sedikit darinya untuk dimakan, dan (selebihnya) untuk dihadiahkan serta disedekahkan kepada orang-orang miskin di Tanah Suci. Karena beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan daging hewan kurbannya, sebagaimana dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu yang diriwayatkan oleh Muslim. Demikian juga karena dam nusuk (dam (penyembelihan hewan) sesuai ketentuan manasik yaitu dam yang dikenakan bagi orang yang mengerjakan haji tamattu’ dan qiran, pent.) berada dalam kedudukan kurban. Maka seandainya daging hewan kurban tersebut didistribusikan ke kaum faqir di penjuru dunia Islam, maka ini adalah perbuatan yang perlu mendapatkan apresiasi dan merupakan usaha yang baik.
Seandainya (penyembelihan hewan, pent.) dikarenakan meninggalkan suatu kewajiban (yaitu dam isa`ah, pent.)–menurut satu pendapat- maka ia disedekahkan seluruh dagingnya kepada orang-orang miskin di Tanah Suci, dan tidak mengambil sedikitpun untuk dimakan oleh yang berkurban.

 Mencukur atau memendekkan rambut
Mencukur atau memendekkan rambut merupakan salah satu bentuk manasik di dalam haji dan umrah. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan ampunan bagi orang yang melakukannya, dengan sabdanya :
« اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلِلْمُقَصِّرِينَ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلِلْمُقَصِّرِينَ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلِلْمُقَصِّرِينَ قَالَ وَلِلْمُقَصِّرِينَ » أخرجه البخاري (1728) ومسلم (1302) عن أبي هريرة  ، وفي حديث ابن عمر – رضي الله عنهما – الدعاء بالرحمة ، أخرجه البخاري (1727) ومسلم (1301)
“Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya)”. Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” Beliau bersabda, “Dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” HR. Bukhari (1728) dan Muslim (1302) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Dan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, memohon rahmat-Nya diriwayatkan oleh Bukhari (1727) dan Muslim (1301).
Al-halq (cukur) adalah membuang rambut kepala secara keseluruhan dengan pisau cukur dan lain sebagainya. Sedangkan at-taqshir (memendekkan rambut) adalah memotong ujung-ujung seluruh bagian rambut kepala dengan gunting atau alat-alat lain yang biasa dipakai.
Mencukur lebih utama (afdhal) bagi orang yang berhaji qiran dan ifrad, serta orang yang berumrah saja, dan kecuali haji tamattu’ yang datang terlambat ke Mekkah, dimana rambutnya tidak cepat tumbuh sebelum haji, maka memendekkannya baginya lebih utama (afdhal). Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya untuk melakukan hal tersebut di saat haji Wada’, agar mereka bisa menghimpun antara at-taqshir (memendekkan rambut) di pelaksanaan Umrah dan al-halq (mencukur rambut) di pelaksanaan haji. Seandainya mereka mencukur habis rambutnya di saat pelaksanaan umrah, niscaya tidak ada rambut yang tersisa sedikitpun di kepalanya untuk dicukur pada pelaksanaan haji. Selain itu, bercukur lebih utama (afdhal) karena Allah Ta’ala mengedepankannya di dalam firman-Nya :
 مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ  [الفتح/27]
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya.” (QS.2:27)
juga karena perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam demikian, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim (1304-1305) dari hadits Anas Radhiyallahu ‘Anhuma. Semakin mendekati kesamaan perbuatan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka itu lebih utama (afdhal). Juga karena doa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi orang-orang yang mencukur rambutnya berulang-ulang untuk mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya, sedang doa bagi orang yang memendekkan rambutnya hanya sekali saja –sebagaimana yang telah dikemukakan-. Sebab yang lain, karena lebih sempurna dalam mengimplementasikan peribadatan dan pengagungan kepada Allah Ta’ala.
Perlu diperhatikan untuk kebanyakan orang –terlebih lagi kalangan pemuda- bahwa mereka tidak mencukur rambutnya, bahkan mencukupinya dengan hanya memendekkannya. Sangat tampak pada saat umrah –sebagaimana di masa-masa liburan musim panas atau di bulan Ramadhan-. Ini menunjukkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan yang utama, kikir terhadap rambut (baca: pelit berkurban, pent.), dan pelaksanaan ibadah ini tidak menyukai kekikiran dalam bentuk harta dan jiwa, maka apalagi hanya sekedar rambut.

 Ukuran Memendekkan Rambut
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ukuran rambut kepala yang dipendekkan. Dan pendapat yang mengemuka kebenarannya –Wallahu a’lam- bahwa seluruh rambut kepala harus dipendekkan, demikian itu karena berlaku menyeluruh untuk seluruh bagian kepala. Dan tidak dapat diartikan hanya sekedar mengambil sebagian sisi kepalanya saja, dasarnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
 مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ  [الفتح/27]
“Dengan mencukur rambut kepala.” (QS.2:27)
Perbuatan disandarkan kepada kepala yang mencangkup seluruh bagiannya, dan siapa yang memendekkan hanya disebagian sisi kepalanya, maka tidak dapat dikatakan kepadanya bahwa dia telah memendekkan kepalanya, hanya saja ia memendekkan sebagian sisi kepalanya saja. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya yang tidak membawa hewan kurban untuk memendekkan rambut mereka setelah menyelesaikan tawaf dan sa’i mereka. Zahirnya bahwa at-taqshir (memendekkan rambut) diberlakukan untuk seluruh sisi kepala, karena tekstual dari redaksinya mengarah ke hal itu, sebab at-taqshir menduduki kedudukan sebagai al-halq (mencukur). Sedang al-halq berlaku untuk seluruh bagian kepala, maka demikian pula dengan at-taqshir yang sudah selayaknya mengenai seluruh bagian kepala.

 Kewajiban melontar dengan 7 (tujuh) kerikil
Mayoritas ulama berpendapat bahwa melontar dilakukan dengan 7 (tujuh) butir kerikil sebagai salah satu syarat sahnya melontar. Maka seandainya kurang satu saja, tidak dianggap sah lontarannya. Wajib baginya untuk kembali menyempurnakan kekurangannya. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar jamrah dengan 7 (tujuh) butir kerikil –sebagaimana yang dikutip oleh Jabir dan sahabat lainnya-. Dan beliau bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Maka wajib hukumnya untuk meneladani beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hal ini, dan tidak pernah diketahui bahwa beliau mengizinkan seseorang melakukan lontaran dengan ukuran kurang dari 7 (tujuh) butir.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i (V/275) dan lainnya, dari Mujahid menuturkan, “Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
« رَجَعْنَا فِي الْحَجَّةِ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَعْضُنَا يَقُولُ رَمَيْتُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَبَعْضُنَا يَقُولُ رَمَيْتُ بِسِتٍّ فَلَمْ يَعِبْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ »
“Sekembali kami dari berhaji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan sebagian dari kami berkata, ‘Aku melontar dengan 7 (tujuh) kerikil’, sedang sebagian kami yanh lain berkata, ‘Aku melontar dengan 6 (enam) kerikil.’ Maka tidak ada sebagian mereka mencela sebagian yang lain”
Ini adalah atsar yang terputus, karena Mujahid belum pernah mendengar langsung dari Sa’ad bin Abi Waqqash, sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu al-Qaththan dan Thahawi serta lainnya. Hal itu dikutip dari Al-Jauhar an-Naqi (V/149). Disebutkan bahwa riwayat-riwayat mengindikasikan kewajiban (dengan) 7 (tujuh) kerikil, dan tidak ada riwayat bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menetapkan kepada para sahabatnya mengenai hal tersebut, dan tidak ada ijtihad dalam ruang nash.

 Lokasi pengambilan batu lontaran
Tidak ada tempat khusus untuk memungut batu lontaran, bahkan dapat diambil dari lokasi manapun di kawasan Muzdalifah, atau kawasan Mina, atau dari jalan. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membatasi lokasinya. Atas dasar ini, maka bukan termasuk sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa seorang yang berhaji jika setibanya di Muzdalifah pada malam hari, sibuk memunguti batu dilontarkan di Jamrah Aqabah, atau dilontarkan pada hari-hari at-tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, pent.). Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang berhaji.
Dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma (dalam riwayat al-Fadhl bin Abbas) berkata,
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ هَاتِ الْقُطْ لِي» أخرجه أحمد (3/350) والنسائي (5/197) وابن ماجة (3029) وإسناده صحيح على شرط مسلم
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada keluar pagi hari ke Aqabah (ghadatal aqabah), sedang ia berhenti di atas kendaraannya, (seraya) bersabda, ‘Berikan kerikil untukku ....’.” HR. Ahmad (III/350), an-Nasa`i (V/197), Ibnu Majah (3029) dengan sanad yang sahih sesuai syarat Muslim.
Tidak ada secara redaksional haditsnya mengenai keterangan lokasinya. Seandainya zahir redaksinya bahwa kerikilnya diambil untuk beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Muzdalifah, berdasarkan redaksinya “ghadatal aqabah (keluar pagi hari ke Aqabah) mengindikasikan bahwa waktunya adalah di awal siang (awal an-nahar), dan ketika itu di saat awal an-nahar (pagi hari, pent.) beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di Muzdalifah. Tetapi redaksi haditsnya tidak secara tegas menyatakan hal itu, bahkan ada kemungkinan bahwa beliau mengambilnya dari Mina saat di Jamrah. Maka tidak riwayat yang terjaga sanadnya dari beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhenti setelah perjalannya dari Muzdalifah ke Mina, karena waktu ini adalah waktu yang diperlukan untuk itu. Tidak pula beliau memerintahkan untuk memungut batu tersebut sebelumnya, sebab tidak ada manfaatnya dan membebaninya. Atas dasar makna yang pertama, maka tidak bersifat umum di seluruh lontaran, bahkan hanya dikhususkan di Jamrah Aqabah saja. Yang dimaksudkan bahwa batu lontaran dapat dipungut di lokasi mana saja. Wallahu a’lam.

 Hukum ragu dalam jumlah batu lontaran
Diwajibkan melontar dengan 7 (tujuh) batu kerikil disetiap Jamrah dari ketiga Jamrah, pada hari-hari at-tasyriq. Dan bagi yang kurang batu lontarannya atau kelebihan diharuskan kembali untuk menyempurnakan apa yag kurang.
Dan bagi batunya terjatuh atau berlebihan sebelum lontaran, maka ia dapat mengambil batu-batu lontaran yang berada di sekitar cawan tempat lontaran (al-haudh) untuk dilontarkannya, sekalipun telah digunakan untuk lontaran. Dan inilah pendapat yang sahih dalam masalah ini. Imam Syafi’i Rahimahullah telah merekomendasikan tentang dibolehkannya hal tersebut, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Alasan lain, karena batu tidak ada yang berubah padanya, sehingga dimungkinkan untuk melontarkannya lagi. Dan makna yang emalatrbelakangi ditentukannya pelontaran dari batu-batu yang ada, hal itu untuk memudahkan orang-orang. Benar-benar ada orang yang terkadang jatuh batunya, sementara dia sudah di depan cawan tempat lontaran (al-haudh), lalu dia diperintahkan untuk keluar dan mengambilnya lagi dari lokasi yang jauh, kemudian kembali masuk untuk melontar lagi –sementara keadaannya terkadang sudah penuh sesak- sehingga membebaninya.
Dan barangsiapa yang ragu mengenai jumlah batunya, maka kaidah para fuqaha’ (ulama fikih) bahwa jangan cenderung kepada yang diragukannya setelah menyelesaikan ibadahnya, dengan demikian maka yang lebih berhati-hati (al-ahwath) adalah menghilangkan keraguan dengan keyakinan jika saat di jamrah. Seandainya ia telah kembali ke tempat penginapannya, jangan dipikirkan kembali hal itu. Wallahu a’lam.

 Diwakilkan saat melontar jamrah
Dasarnya bahwa orang yang berhaji melakukan sendiri lontaran Jamrahnya, baik ia seorang pria maupun wanita. Tidak diwakilkan kepada seorang pun untuk menggantikannya melontar, baik untuk haji yang fardhu maupun yang sunnah. Karena melontar termasuk perbuatan ibadah (nusuk) dari amalan-amalan ibadah (manasik) haji, serta bagian dari bagian-bagiannya maka harus dilakukan sendiri. Namun jika ditemukan udzur (halangan syar’i), seperti sakit, tua renta, anak kecil, ataupun wanita yang bersama anak-anaknya dan tidak ada yang menjaga anak-anaknya tersebut, serta lain sebagainya dalam klasifikasi yang menyebakannya tidak sanggup untuk melontar. Maka dibolehkan untuk mewakilkan kepada orang lain yang melontarkan menggantiannya. Baik dengan cara ia (baca: orang yang mewakilkan urusannya (al-muwakkil)) yang mengambil batu lontarannya untuk diserahkan kepada al-wakil (orang yang mewakilinya), ataupun al-wakil sendiri yang mengambil batunya.
Adapun jika ia sendiri memiliki kesanggupan, maka tidak sepantasnya bersikap memudah-mudahkan dalam manasik ini, karena dia adalah ibadah dan yang diminta dari seorang mukallaf adalah langsung melakukannya sendiri.
Sifat pelaksanaannya, pertama kali al-wakil melontar untuk dirinya sendiri, kemudian melontarkan untuk al-muwakkil (orang yang mewakilkan urusannya) dengan niat dalam satu sikap perbuatan. Ia tidak diharuskan melontar untuk dirinya di seluruh Jamrah, kemudian kembali lagi untuk melontarkan orang yang diwakilinya (al-muwakkil). Karena tidak adanya dalil atas hal tersebut, dan yang demikian terdapat rintangan berat, terlebih lagi di zaman ini, yang terkadang sedikit orang yang mau menolong, sehingga ia mendapati rintangan yang menghalanginya untuk melontarkan orang yang benar-benar membutuhkan orang yang mewakilnya.
Pendapat yang mengemuka –Wallahu a’lam- bahwa seandainya udzur (sebab penghalang) al-muwakkil telah hilang –seperti ia telah kembali sehat dari sakitnya- sedangkan sebagian hari-hari pelontaran masih tersisa, maka ia sendiri yang melontar seluruh lontaran yag tersisa. Karena perwakilan hanya dibolehkan untuk keadaan yang darurat. Jika udzurnya hilang sedang waktunya masih tersisa, maka wajib baginya untuk melangsungkan sendiri ibadahnya.

 Melontar di malam hari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar Jamrah Aqabah pada waktu dhuha di hari an-nahr (penyembelihan), dan melontar setelah itu di hari-hari at-tasyriq setelah tergelincirnya matahari. Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Para ulama bersepakat atas dibolehkannya melontar hingga terbenam matahari di hari-hari at-tasyriq. Demikian pula melontar Jamrah Aqabah sampai terbenam matahari di hari ‘Iedul Adha menurut pendapat yang kuat.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai dibolehkannya melontar di waktu malam dari hari yang mataharinya telah terbenam. Pendapat yang kuat membolehkannya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menentukan awal waktu melontar dengan perbuatannya, dan tidak menentukan batasan akhir waktunya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar –Radhiyallahu ‘Anhuma- bahwa “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan dispensasi (rukhsah) kepada para pengembala untuk melontar di malam hari.” HR. Al-Bazzar (782/Mukhtashar Zawaidnya), dan Al-Baihaqi (V/151), dan al-Hafizh menilainya hasan dalam at-Talkhish (II/282). Ia memliki syahid (penguat) dari hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu ‘Anhuma-, diriwayatkan pula oleh Ath-Thahawi di Syarh Ma’ani al-Atsar (II/221), ath-Thabari di Tahdzib al-Atsar (I/222).
Terdapat riwayat di dalam al-Muwaththa’ (I/409) dari Malik dari Abu Bakar bin Nafi’ dari ayahnya, bahwa putri dari saudara lelaki Shafiyah binti Abu ‘Ubaid melahirkan di Muzdalifah, maka ia dan Shafiyah mengalami keterlambatan hingga keduanya sampai di Mina setelah matahari terbenam di hari an-nahr. Lalu Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma memerintahkan keduanya untuk melontar Jamrah saat keduanya tiba, dan ia tidak menetapkan sesuatu (sangsi apapun) atas keduanya.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (IV/30) dari Abdurrahman bin Sabith berkata, “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi para jama’ah haji, dan mendoakan mereka, lalu mereka datang dan melontar di malam hari.” Sanadnya sahih.
Karena hari untuk melontar, dan malam mengikutinya hal tersebut, seperti malam an-nahr ikut kepada hari Arafah dalam keabsahan wuquf hingga terbitnya fajar.
Barangsiapa yang kesulitan melakukan lontaran di siang hari, seperti seorang wanita kurus perawakannya dan orang tua renta, maka baginya dibolehkan untuk melontar di malam hari. Demikian pula orang yang menjadikan lontarannya di malam hari agar memperoleh kemudahan dan ketenangan yang lebih, maka ia melontarnya di malam hari. Bahkan sesungguhnya aku mengeaskan kepada siapa saja yang bersama wanita-wanita (mahramnya) untuk tidak melontar kecuali di malam hari. Terlebih lagi di hari ke-11 (sebelas) disebabkan penuh sesak sekali. Adapun pada hari ke-12 (dua belas) yaitu hari nafar awal, maka pelontaran saat hampir terbenam matahari masih dimungkinkan dengan tidak adanya rintangan berat hingga bagi para wanita. Dan terlebih lagi bagi orang yang hendak bersegera untuk dapay keluar dari Mina sebelum matahari terbenam.

 Mabit di Mina
Mabit (bermalam) di Mina pada malam ke-11 dan ke-12 –demikian pula malam ke-13 bagi orang yang hendak bersegera- merupakan salah satu kewajiban haji. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bermalam di sana. Dan bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Dan beliau memberikan dispensasi (rukshah) kepada orang yang bertugas memberi minuman dan para pengembala untuk tidak bermabit. Dan ungkapan dengan rukhshah (dispensasi) menunjukkan atas diwajibkannya mabit jika tidak ada udzur (alasan syar’i).
Siapa yang sudah berusaha namun tidak menemukan tempat untuk bermalam, maka gugurlah kewajiban itu darinya. Dan ia dapat bermalam di luarnya, dan tidak ada sangsi apapun baginya. Berdasarkan keumuman firman-Nya :
 فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ  التغابن/16]
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS.646)
dan firman-Nya yang lain :
 لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا  [البقرة/286]
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS.2:286)
dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ » أخرجه البخاري (7288) ومسلم (1337)
“Jika kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka lakukanlah sesanggup kalian.” HR. Bukhari (7288) dan Muslim (1337).
Dan itu bukan berarti bermalam di jalan-jalan atau trotoar-trotoar sebagai tempat jalan orang-orang dan kendaraan-kendaraan. Maka hal itu mengandung bahaya besar dan kerawanan yang tinggi, dan syariah tidak menghendaki hal yang semacam itu. Terlebih lagi dalam ibadah haji yag berdiri atas dasar kesanggupan dan kemudahan terhadap pelaku ibadah. Dan lebih besar dari hal itu, bahw bermalam di sepanjang jalan atau di atas trotoar sedang ia bersama wanita-wanita (mahramnya), maka dari situasi ini telah gugurlah kewajiban mabit atasnya dikarenakan mengandung bahaya. Seorang wanita jika ia tetap duduk saja maka inipun berat baginya. Seandainya ia berbaring maka bukannya beradab namanya jika seorang wanita berbaring di jalan yang dilalui orang-orang, bisa saja bagian tubuhnya terlihat tanpa disadarinya. Siapa yang melakukan hal itu (mabit sesuai yang disyariatkan) maka ia melakukannya dengan dorongan antusias atas pelaksanaan kewajibannya, dan inilah yang dituntut dalam manasik. Namun jika ia mengalami udzur maka gugurlah kwajibannnya. Wallahu a’lam.

 Melontar Sebelum Tergelincir Matahari
Tidak dibolehkan melontar sebelum tergelincirnya matahari (qabla az-zawal) di hari-hari at-tasyriq, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar setelah tergelincirnya matahari (ba’da az-zawal). Dan bersabda :
« لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ »
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
maka pelaksanaan lontaran termasuk dalam keumuman hadits ini.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melontar pada hari an-nahr pada waktu dhuha, dan melontar di hari-hari at-tasyriq setelah tergelincirnya matahari (ba’da az-zawal). Sebagaimana yang disebutkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, maka terjadilah perbedaan hukum. Kemudian seandainya melontar dibolehkan sebelum az-zawal (tergelincirnya matahari) berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan untuk bersegera dalam pelaksanaan ibadah sehingga di awal waktunya, serta untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang, dan memperpanjang masa pelontaran.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata :
« كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ رَمَيْنَا » أخرجه البخاري (1746) .
“Kami dahulu menunggu-nunggu waktu, maka apabila matahari telah tergelincir (maka) kami (mulai) melontar.” HR. Bukhari (1746)
Dan ini adalah pendapat dari mayoritas ulama, dan merupakan pendapat yang kuat dalam masalah ini –insya Allah-. Maka siapa yang melontar sebelum az-zawal, wajib baginya untuk mengulanginya. Karena ia melontar sebelum masuk waktu melontar, dan tidak ada bedanya antara hari ke-12 yaitu hari an-nafar al-awal, atau hari-hari at-tasyriq lainnya. Sekalipun sebagian ulama ada yang membolehkan melontar sebelum az-zawal pada hari an-nafar al-awal yaitu hari ke-12, berdasarkan ayat al-Qur`an al-Karim :
 فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ  [البقرة/203]
“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya.” (QS.2:203)
Namun hal itu berlawanan dengan yang dilakukan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –sebagaimana di muka-.
Waktu pelontaran cukup lapang –bagi Allah segala pujian- dan tidak diwajibkan untuk melontar sebelum az-zawal kecuali yang hendak bersegera dimana di zaman ini kebanyakan orang seperti itu. Hanya kepada Allah saja memohon pertolongan.

 Orang yang Bersegera di Hari ke-12 sementara Matahari sudah terbenam
Baangsiapa yang hendak bersegera keluar dari Mina pada hari an-nafar al-awal, yaitu hari ke-12 dari hari-hari at-tasyriq dengan membawa perlengkapan dan mengendarai kendaraannya sebelum terbenamnya matahari (al-ghurub), kemudian tertahan di dalam kendaraannya disebabkan padatnya kendaraan, atau karena ada udzur lainnya, maka sesunguhnya ia bersegera dan meneruskan perjalanannya, dan tidak diharuskan untuk mabit di Mina pada halam itu dan melontar keesokannya. Karena ia telah melakukan tindakan bersegera keluar dan persiapannya, kemudian tertahan diluar kehendaknya. Demikian pula, jika ia telah keluar dari Mina sebelum terbenam matahari (al-ghurub), kemudian kembali lagi setelahnya untuk satu keperluan yang terlupakan atau yag serupa itu, maka dibolehkan baginya untuk meneruskan perjalanannya, dan tidak diharuskan untuk mabit. Namun siapa yang mengakhirkan pelontaran sampai setelah matahari terbenam, maka diharuskan mabit baginya.Karena tidak dapat dibenarkan bahwa ia hendak bersegera keluar. Wallahu a’lam.

 Denda tawaf ifadhah dari tawaf wada’
Jika seseorang (hendak) mengakhirkan pelaksanaan tawaf ifadhah –yaitu tawaf haji-, maka ia melakukannya di saat hendak meninggalkan Mekkah menempati kedudukan tawaf wada’, namun dengan niat melakukan tawaf haji, karena tawaf haji ini kedudukannya sebagai rukun sedangkan tawaf wada’ kedudukannya sebagai wajib. Maka kedudukan yang lebih tinggi dapat menggantikan kedudukan yag di bawahnya, tidak sebaliknya. Hanya tawaf ifadhah yang dapat menampati tawaf ifadhah, dan bukan sebaliknya. Sebab yang diperintahkan (dalam syariat, pent.) adalah mengakhiri masa (ibadah haji)nya dengan (tawaf) di Baitullah. Sehingga ia telah memenuhi pelaksanaannya, dan keduanya adalah bentuk ibadah dari jenis yang sama. Maka salah satunya dapat menggantikan yang lainnya.
Dan ini jelas bagi orang yang baerhaji ifrad dan qiran yang bersa’i dengan sa’i haji beserta tawaf qudum. Karena baginya tidak ada lagi setelah itu melainkan hanya tawaf , dan menjadikan akhir dari masa (ibadah haji)nya dengan (melakukan tawaf) di Baitullah.
Adapun haji tamattu’ yang mengakhirkan tawaf ifadahnya di waktu ia akan meninggalkan Mekkah, maka ia diharuskan untuk melakukan sa’i setelahnya, dan tidak menjadikan tawafnya tersebut sebagai penutup dari masa ibadah hajinya. Selanjutnya, apakah ia masih perlu melakukan tawaf wada’ setelah bersa’i ?
Pendapat yang paling mengemuka –Wallahu a’lam- bahwa tidak perlu lagi melakukan tawaf wada’, karena prinsipnya sa’i yang mengikuti tawaf, maka pemenggalan dengan sa’i antara tawaf dan moment keluar dari Mekkah tidak menjadi ganjil. Imam Bukhari –Rahimahullah- telah membuat bab tersendiri mengenai hal itu, beliau berkata (III/612), “Bab orang berumrah, jika ia melakukan tawaf umrah kemudian keluar meninggalkan (Mekkah). Apakah tawafnya terhitung menempati (kedudukan) tawaf wada’?”. Kemudian beliau meriwayatkan hadits Aisyah –Radhiyallahu ‘Anha-, diantara isinya :
« اخْرُجْ بِأُخْتِكَ مِنَ الْحَرَمِ ثُمَّ افْرُغَا مِنْ طَوَافِكُمَا »
“Keluarlah bersama saudara wanitamu dari Tanah Suci (al-haram), kemudian selesaikanlah tawaf kalian berdua.”
Zahir redaksionalnya bahwa Aisyah tidak diperintahkan mengerjakan tawaf wada’. Ibnu Baththal Rahimahullah berpendapat dalam ulasannya mengenai riwayat Bukhari ini (IV/445), “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seorang yang berumrah jika telah mengerjakan tawaf dan keluar kembali ke negerinya, bahwa tawafnya tersebut telah menempati kedudukan tawaf wada’, sebagaimana yang diperbuat oleh Aisyah.” Dan al-Hafizh Ibnu hajar dalam Fathul Bari mengutipnya dan menetapkannya.
Namun yang membuat ganjil mengenai hal itu adalah riwayat Bukhari (1560) lainnya, pada riwayat tersebut Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata –setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan saudara lelaki dari Aisyah untuk keluar bersamanya untuk melaksanakan ibadah umrah,
« فَخَرَجْنَا حَتَّى إِذَا فَرَغْتُ وَفَرَغْتُ مِنْ الطَّوَافِ »
“Maka keluarlah kami sampai ketika aku telah selesai, dan aku telah selesai dari tawaf.”
Maka zahir lafaznya bahwa (mungkin kata) penyelesaian pertama (maksudnya adalah) dari umrah, dan (kata) penyelesaian kedua (maksudnya adalah) dari tawaf wada’. Barangkali ini yang menjadikan Imam Bukhari meredaksionalkannya dengan ungkapan pertanyaan, dan belum menetapkan sebagai hukum. Wallahu a’lam.



DIANTARA MASALAH-MASALAH UMRAH

 Seorang yang pergi ke Jeddah untuk suatu keperluan, kemudian hendak umrah
Seorang yang safar (bepergian) ke Jeddah untuk suatu keperluan kemudian hendak melakukan umrah, maka adanya rincian. Jika tujuan safarnya karena ibadah (an-nusuk), yaitu keinginan untuk melaksanakan umrah, sementara keperluannya tersebut datang setelahnya. Maka sesungguhnya wajib baginya untuk melakukan ihram, jika telah sampai di miqat-miqat, atau berhadapan dengan salah satunya seperti Dzul Hulaifah misalkan, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ » أخرجه البخاري (1524) ومسلم (1181) من حديث ابن عباس – رضي الله عنهما –
“Miqat-miqat (yaitu, tempat memulai ihram, pent.) itu berlaku bagi mereka (yang tinggal di sana), dan bagi orang yang datang ke sana (untuk ihram, pent.) yang bukan berasal dari penduduk negeri-negeri tersebut, serta bagi orang yang hendak haji dan umrah.” HR. Bukhari (1524) dan Muslim (1181) dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
Dan hadits ini membenarkannya, bahwa ia datang ke miqat, karena ia hendak melaksanakn umrah, maka ia diharuskan melakukan ihram.
Namun jika tujuan safarnya untuk sutu keperluan, dan an-nusuk (ibadah haji) datang setelah itu. Artinya, jika memungkinkan baginya dan jika waktu yang dimilikinya masih lapang sehingga memungkinkan baginya untuk datang, maka yang semacam ini tidak diharuskan berihram saat melewati miqat. Bahkan baginya untuk menjauh dari miqat tanpa berihram, karena saat ia melewati miqat tidak disertai keinginan berhaji dan tidak pula berumrah.
Seandainya keperluannya telah selesai dan dia masih di Jeddah, kemudian hendak umrah maka ia berihram dari Jeddah. Dan ia tidak diharuskan untuk pergi ke salah satu miqat. Karena Jeddah merupakan miqat bagi penduduknya dan bagi siapa saja utusan yang datang ke Jeddah yang tidak bertujuan haji dan umrah, kemudian tumbuh keinginan untuk berhaji atau umrah. Adapun orang-orang yang datang ke sana dengan tujuan awalnya hendak berhaji dan umrah, maka Jeddah bukanlah miqat bagi mereka. Karena Jeddah berada di dalam kawasan miqat-miqat. Karenanya siapa yang hendak berihram dari miqat, maka ia harus menjauh (dulu) dari miqat. Wallahu a’lam.

 Seorang yang memakai pakaiannya sebelum mencukur di ibadah umrah
Jika seorang yang berihram telah melakukan tawaf dan sa’i, lalu ia mengenakan pakaiannya karena lupa sebelum mencukur atau mengunting rambutnya, maka wajib baginya untuk menaggalkan pakaiannya sat ia tersadarkan, dan kembali mengenakan pakaian ihram. Kemudian ia mencukur atau mengunting rambutnya, selanjutnya ia kembali mengenakan pakaiannya, baik ia tersadarkan di Mekkah atau ditempat lainnya, karena mencukur atau menggunting merupakan bagian manasik yang harus dilakukan dalam keadaan berihram.
Seandainya ia mencukur atau menggunting sementara ia masih mengenakan pakaiannya karena tidak tahu (jahilan) atau lupa (nasiyan), maka baginya tidak mengapa. Demikian jika ia berbuat sesuatu yang termasuk dalam larangan ihram sebelum mencukur, dikarenakan lupa maka tidak masalah baginya. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
 رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا [البقرة/286]
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS.2:286)
dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْه » أخرجه ابن ماجة (2045) والبيهقي (7/356) وغيرهما ، وهو مروي عن عدد من الصحابة – رضي الله عنهم – ، وله طرق ، وشواهد من القرآن تدل على صحته .
“Sesungguhmua Allah mengampuni umatku dari kekhilafan, lupa dan keterpaksaan.” HR. Ibnu Majah (2045), Baihaqi (VII/356), dan yang lainnya. Ia diriwayatkan dari sejumlah sahabat Radhiyallahu 'Anhum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar